Selasa, 12 Juli 2011

tyajurnal

PERAN MENEJEMEN BERBASIS SEKOLAH (MBS) DALAM MENINGKATKAN MANAJEMEN MUTU TERPADU
Oleh : Prof. Dr. H. Endang Komara, M.Si
A. Abstrak
Manajemen Berbasis Sekolah merupakan satu bentuk agenda reformasi pendidikan di Indonesia yang menjadi sebuah kebutuhan untuk memberdayakan peranan sekolah dan masyarakat dalam mendukung pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Secara esensial Manajemen Berbasis Sekolah menawarkan diskursus ketika sekolah tampil secara relatif otonom, dengan tidak mereduksi peran pemerintah, terutama dalam bidang pendanaan. Hal tersebut tentunya akan berakibat pada mutu pendidikan. Apabila mutu pendidikan hendak diperbaiki, maka perlu ada pimpinan dari para profesional pendidikan. Manajemen mutu merupakan sarana yang memungkinkan para profesional pendidikan dapat beradaptasi dengan kekuatan perubahan yang akan bermuara pada sistem pendidikan bangsa kita.

B. Pendahuluan
Sejak bergulirnya reformasi pertengahan tahun 1998, telah terjadi gelombang perubahan dalam segala sendi kehidupan, baik kehidupan bermasyarakat, berbangsa maupun bernegara. Perubahan mendasar dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara saat ini merupakan pergeseran terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan. Selama ini penggunaan pradigma sentralistik selanjutnya terjadi pergeseran orientasi menuju paradigma desentralistik. Perubahan orientasi paradigma ini diberlakukan melalui penetapan perundang-undangan mengenaai Pemerintah Daerah, yang lebih sering kita dengar dengan terminologi otonomi daerah. Perubahan orientasi paradigma tersebut telah melahirkan sistem penyelenggaraan pemerintahan yang lebih dinamis. Seluruh aktivitas yang dilakukan cenderung berdasarkan aspirasi setempat (kedinasan), sehingga sasaran lebih terjamin pencapaiannya. Dengan demikian, prinsip efektivitas terhadap perencanaan nasional maupun daerah diharapkan terpenuhi secara maksimal dan optimal. Hal ini dimungkinkan terjadi karena pemetaan permasalahan bersifat objektif, aktual, konstektual dan berbagai masalah teridentifikasi secara objektif. Salah satu implementasi dari penerapan paradigma desentralisasi itu adalah di sektor pendidikan. Sektor pendidikan selama ini ditengarai terabaikan dan dianggap hanya sebagai bagian dari aktivitas sosial, budaya, ekonomi dan politik. Akibatnya, sektor pendidikan dijadikan komoditas berbagai variabel di atas oleh para pengambil kebijakan, baik oleh eksekutif maupun legislatif ketika mereka menganggap perlu mengangkat isu-isu kependidikan yang dapat meningkatkan perhatian publik terhadap mereka. Memang ironis dan memprihatinkan ketika bangsa lain justru menjadikan pendidikan sebagai leading sector pembangunannya, menuju keadilan dan kesejahteraan masyarakatnya. Begitulah sektor pendidikan ditempatkan selama ini, ia tidak menjadi leading sector dalam perencanaan pembangunan mutu manusia secara nasional. Padahal amanah terpenting dari kemerdekaan bangsa ini adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Seharusnya seluruh perencanaan dan aktivitas apa pun yang dilakukan adalah dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pendidikan merupakan salah satu bidang yang disentralisasikan yang berkaitan erat dengan filosofi otonomi daerah. Secara esensial landasan filosofis otonomi daerah adalah pemberdayaan dan kemandirian daerah menuju kematangan dan kualitas masyarakat yang dicita-citakan (Gafar, 2000). Pendidikan merupakan salah satu instrumen paling penting dalam kehidupan manusia. Ia merupakan bentuk strategi budaya tertua bagi manusia untuk mempertahankan berlangsungnya eksistensi mereka (Fakih dalam Wahono, 2000: iii). Oleh karenanya, upaya untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitasnya harus dilakukan secara terus menerus. Melalui pendidikan diharapkan pemberdayaan, kematangan, dan kemandirian serta mutu bangsa secara menyeluruh dapat terwujud. Pendidikan merupakan salah satu aspek kehidupan yang bersifat fungsional bagi setiap manusia dan memiliki kedudukan strategis untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Tantangan lainnya yang mempengaruhi pendidikan adalah perubahan yang terjadi akibat semakin mengglobalnya tatanan pergaulan kehidupan dunia saat ini. Di era globalisasi, kebutuhan terhadap sumber daya manusia yang berkualitas tidak bisa ditawar lagi dengan adanya tantangan yang dihadapi yakni persaingan dengan negara lainnya, khususnya negara tetangga di kawasan ASEAN. Padahal saat ini kualitas sumber daya manusia negara kita berdasarkan parameter yang ditetapkan oleh UNDP pada tahun 2000 berada pada peringkat ke-109. Padahal Singapura, Malaysia, Thailand dan Fhilipina lebih baik peringkatnya dari kita. Dalam upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia, kita semua sepakat bahwa pendidikan memegang peran yang sangat penting. Peningkatan kualitas pendidikan merupakan salah satu proses yang terintegrasi dengan proses peningkatan kualitas sumber daya manusia itu sendiri (Suryadi, 1999).
Walaupun tujuh tahun telah berlalu sejak penetapan UNDP tahun 2000 tentang peringkat mutu sumber daya manusia Indonesia, ternyata hingga saat ini bukannya semakin meningkat meningkat, tetapi tetap jalan ditempat, bahkan teridentifikasi semakin menurun. Berdasarkan laporan World Economic Forum, tingkat daya saing Indonesia pada tahun 2006 berada diurutan ke-50, Malaysia ke-26, Singapura ke-5, India ke-43 dan Korea Selatan ke-24. Oleh karena itu, upaya untuk meningkatkan mutu manusia Indonesia melalui pendidikan, dilakukan secara terencana, terarah, intensif, efektif dan efisien, sesuai dengan kebutuhan yang semakin mendesak. Terminologi pendidikan memiliki ruang lingkup yang luas, meliputi pendidikan persekolahan dan pendidikan luar sekolah. Namun demikian kenyataan menunjukkan bahwa tumpuan utamanya dalam pengembangan sumber daya manusia melalui pendidikan berada pada pendidikan persekolahan. Karena itu, upaya reformasi pendidikan ditujukan untuk memperbaiki sistem pendidikan persekolahan agar dapat menjawab tantangan nasional, regional dan global yang berada di hadapan kita. Salah satu pendekatan yang dipilih di era desentralisasi sebagai alternatif peningkatan kualitas pendidikan persekolahan adalah pemberian otonomi yang luas di tingkat sekolah serta partisipasi masyarakat yang tinggi dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional. Pendekatan tersebut dikenal dengan model Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah (MPBS) atau School Based Management. Mutu menjadi satu-satunya hal yang sangat penting dalam pendidikan, bisnis dan pemerintahan. Saat ini memang ada masalah dalam sistem pendidikan. Lulusan SMK atau perguruan tinggi tidak siap memenuhi kebutuhan masyarakat. Para siswa yang tidak siap jadi warga negara yang bertanggung jawab dan produktif itu, akhirnya hanya jadi beban masyarakat. Para siswa itu adalah produk sistem pendidikan yang tidak terfokus pada mutu, yang akhirnya hanya memberatkan anggaran kesejahteraan sosial saja. Adanya lulusan lembaga pendidikan yang seperti itu berdampak pula pada sistem peradilan kriminal, lantaran mereka tak dipersiapkan untuk memenuhi kebutuhan generasi mendatang, dan yang lebih parah lagi, akhirnya mereka menjadi warga negara yang merasa terasing dari masyarakatnya. Bila mutu pendidikan hendak diperbaiki, maka perlu ada pimpinan dari para profesional pendidikan. Manajemen mutu merupakan sarana yang memungkinkan para profesional pendidikan dapat beradaptasi dengan kekuatan perubahan yang memukul sistem pendidikan bangsa ini. Pengetahuan yang diperlukan untuk memperbaiki sistem pendidikan kita sebenarnya sudah ada dalam komunitas pendidikan kita sendiri. Kesulitan utama yang dihadapi para profesional pendidikan sekarang ini adalah ketidakmampuannya menghadapi sistem yang gagal sehingga menjadi tabir bagi para profesional pendidikan itu untuk mengembangkan atau menerapkan proses baru pendidikan yang akan memperbaiki mutu pendidikan.
Pendidikan harus mengubah paradigmanya. Norma-norma dan keyakinan-keyakinan lama harus dipertanyakan. Sekolah mesti belajar untuk bisa berjalan dengan sumber daya yang sedikit. Para profesional pendidikan harus membantu para siswa mengembangkan keterampilan yang akan mereka butuhkan untuk bersaing dalam perekonomian global. Sayangnya, kebanyakan sekolah masih memandang bahwa mutu akan meningkat hanya jika masyarakat bersedia memberi dana yang lebih besar. Padahal dana bukanlah hal utama dalam perbaikan mutu pendidikan. Mutu pendidikan akan meningkat bila administrator, guru, staf dan anggota dewan sekolah mengembangkan sikap baru yang terfokus pada kepemimpinan, kerja tim, kooperasi, ekuntabilitas dan pengakuan.
Para profesional pendidikan sekarang ini kurang memiliki pengetahuan atau pengalaman yang diperlukan untuk menyiapkan para siswanya memasuki pasar kerja global. Tradisi rupanya menghalangi proses pendidikan untuk melakukan perubahan yang diperlukan agar programnya sesuai dengan kebutuhan siswa. Masyarakat menuntut mutu pendidikan diperbaiki, namun masyarakat enggan mendukung dunia pendidikan untuk mengupayakan perbaikan. Banyak profesional pendidikan yang takut pada perubahan dan tidak tahu cara menjawab tantangan zaman. Para profesional pendidikan mestinya sadar, program mutu di dunia komersial tidak bisa dijalankan dalam bidang pendidikan. Karena proses kerja, budaya dan lingkungan organisasi di kedua bidang itu berbeda. Para profesional pendidikan harus diberi program mutu yang khusus dirancang untuk dunia pendidikan. Salah satu komponen penting program mutu dalam pendidikan adalah mengembangkan sistem pengukuran yang memungkinkan para profesional pendidikan mendokumentasikan dan menunjukkan nilai tambah pendidikan bagi siswa dan komunitasnya. Masyarakat dan dunia pendidikan mesti mengeliminasi fokus jangka pendeknya. Salah satu ciri dunia modern adalah terjadinya perubahan yang konstan. Perubahan merupakan hal penting. Manajemen mutu dapat membantu sekolah menyesuaikan diri dengan perubahan melalui cara yang positif dan konstruktif. Penyelesaian yang cepat tidak akan memecahkan persoalan pendidikan masa kini. Penyelesaian masalah secara cepat sudah pernah dilakukan, dan terbukti gagal. Oleh sebab itu diperlukan dedikasi, fokus dan keajegan tujuan dalam memperbaiki mutu pendidikan. Untuk mencapai lingkungan pendidikan yang bermutu, semua stakeholder pendidikan mesti memiliki komitmen pada proses transformasi.

C. Pembahasan
1. Peran Manajemen Berbasis Sekolah
Lembaga pendidikan formal atau sekolah dikonsepsikan untuk mengembangkan fungsi reproduksi, penyadaran dan mediasi secara simultan. Fungsi-fungsi sekolah itu diwadahi melalui proses pendidikan dan pembelajaran sebagai inti bisnisnya. Pada proses pendidikan dan pembelajaran itulah terjadi aktivitas kemanusiaan dan pemanusiaan sejati. Tiga pilar fungsi sekolah yakni fungsi pendidikan sebagai penyadaran; fungsi progresif pendidikan dan; fungsi mediasi pendidikan ( Danim, 2007:1). Hal tersebut nampak bahwa sekolah hanyalah salah satu dari subsistem pendidikan karena lembaga pendidikan itu sesungguhnya identik dengan jaringan-jaringan kemasyarakatan. Fungsi penyadaran atau fungsi konservatif bermakna bahwa sekolah bertanggung jawab untuk mempertahankan nilai-nilai budaya masyarakat dan membentuk kesejatian diri sebagai manusia. Pendidikan sebagai instrumen penyadaran bermakna bahwa sekolah berfungsi membangun kesadaran untuk tetap berada pada tataran sopan santun, beradab, dan bermoral di mana hal ini menjadi tugas semua orang. Pendidikn formal, informal dan pendidikan kemasyarakatan merupakan pranata masyarakat bermoral dengan partisipasi total sebagai replica idealnya. Partisipasi anak didik dalam proses pendidikan dan pembelajaran bukan sebagai alat pendidikan, melainkan sebagai intinya. Sebagai bagian dari jaring-jaring kemasyarakatan, masyarakat pendidikan perlu mengemban tugas pembebasan, berupa penciptaan norma, aturan, prosedur, dan kebijakan baru. Orang tua, guru, dan dosen harus mampu membebaskan anak-anak dari aneka belenggu, bukan malah menindasnya dengan cara menetapkan norma tunggal atau menuntut kepatuhan secara membabi buta. Mereka perlu membangun kesadaran bagi lahirnya proses dialogis yang mengantarkan individu-individu secara bersama-sama untuk memecahkan masalah eksistensial mereka. Tidak menguntungkan jika anak dan anak didik diberi pilihan tunggal ketika mereka menghadapi fenomena relatif dan normatif, termasuk fenomena moralitas. Fungsi konservatif atau fungsi penyadaran sekolah sebagai lembaga pendidikan masih menjelma dalam sosok konservatisme pendidikan persekolahan, bukan sebagai wahana pewarisan dan seleksi budaya, ditandai denga makin terperosoknya kearifan generasi dalam mewarisi nilai-nilai mulai peradaban masa lampau. Bukti konservatisme pendidikan formal benar-benar nyata di dalam alur perjalanan sejarah. Seperti dikemukakan oleh Ash Hatwell (1995), diperlukan waktu sekitar 100 tahun bagi teori dan ide ilmiah untuk dapat mempengaruhi isi, proses, dan struktur persekolahan. Bersamaan dengan itu, perubahan wajah dunia terus berakselerasi. Misalnya, pada abad ke-20 telah diproduksi konsep dan teori yang radikal tentang alam, realitas dan epistemologi. Munculnya teori relativitas, mekanika kuantum, dan penemuan ilmiah lainnya adalah contoh nyata revolusi di bidang keilmuan. Memang, evolusi perilaku sosial jauh lebih cepat dibandingkan dengan evolusi spesies-genetik nonrekayasa. Meski kita harus pula menerima realitas bahwa pendidikan formal belum menampakkan pergeseran fungsi progresifnya yang signifikan. Fungsi reproduksi atau fungsi progresif merujuk pada eksistensi sekolah sebagai pembaru atau pengubah kondisi masyarakat kekinian ke sosok yang lebih maju. Selain itu, fungsi ini juga berperan sebagai wahana pengembangan, reproduksi, dan desiminasi ilmu pengetahuan dan teknologi. Para peneliti, penulis buku, pengamat, pendidik, guru, tutor, widyaiswara, pemakalah seminar, dan sejenisnya adalah orang yang banyak bergulat dengan pengkajian, penelitian, penelaahan, dan desiminasi ilmu. Saat ini fungsi progresif sekolah sebagai lembaga pendidikan terus menampakkan sosoknya, meski belum menunjukkan capaian yang signifikan, setidaknya pada banyak daerah dan jenis sekolah. Di daerah pedalaman misalnya, masih banyak sekolah yang sulit mempertahankan kondisinya pada taraf sekarang, apalagi mendongkrak mutu kinerjanya. Meski harus diakui pula, pada banyak tempat telah lahir sekolah-sekolah unggulan atau sekolah-sekolah yang diunggulkan oleh masyarakat karena mampu mengukir prestasi, misalnya peningkatan hasil belajar siswa. Fungsi itu akan lebih lengkap jika pendidikan juga melakukan fungsi mediasi, yaitu menjembatani fungsi konservatif dan fungsi progresif. Hal-hal yang termasuk kerangka fungsi mediasi adalah kehadiran institusi pendidikan sebagai wahana seosialisasi, pembawa bendera moralitas, wahana proses pemanusiaan dan kemanusiaan umum, serta pembinaan idealisme sebagai manusia terpelajar.Di Negara kita, pelembagaan MBS dipandang urgen atau mendesak. Hal itu sejalan dengan tuntutan masyarakat agar lembaga pendidikan persekolahan dapat dikelola secara lebih demokratis dibandingkan dengan pola kerja ‘’dipandu dari atas’’ sebagaimana dianut oleh negara yang menerapkan pemerintahan sentralistik. Persoalan utama di sini bukan terletak pada apakah format manajemen sekolah yang dipandu secara sentralistik itu lebih buruk ketimbang pendekatan MBS yang memuat pesan demokratisasi pendidikan, demikian juga sebaliknya. Persoalan yang paling esensial adalah apakah dengan perubahan pendekatan manajemen sekolah itu akan bermaslahat lebih besar dibandingkan dengan format kerja secara sentralistik ini, terutama dilihat dari kepentingan pendidikan anak. Maslahat aplikasi MBS bagi peningkatan kinerja sekolah dan perbaikan mutu hasil belajar peserta didik pada sekolah-sekolah yang menerapkannya masih harus diuji di lapangan. Prakarsa menuju perbaikan mutu melalui perubahan dari sentralisasi ke desentralisasi pengelolaan pendidikan tidak mungkin diperoleh secara segera. Hal ini sejalan dengan konsep Kaizen, bahwa kemajuan dicapai bukanlah sebuah lompatan besar ke depan. Menurut Kaizen kemajuan dicapai karena perubahan-perubahan kecil yang bersifat kontinu atau tanpa henti dalam beratus-ratus dan bahkan beribu-ribu detail yang berhubungan dengan usaha menghasilkan produk atau pelayanan. Menurut Tony Barner (1998) asumsi yang mendasari perubahan dalam Kaizen adalah bahwa kesempurnaan itu sebenarnya tidak ada. Hal ini bermakna bahwa tidak ada kemajuan, produk, hubungan, sistem, atau struktur yang bisa memenuhi ideal. Kondisi ideal itu hanyalah sebuah abstraksi yang dituju. Oleh karena itu, selalu tersedia ruang dan waktu untuk mengadakan perbaikan dan peningkatan dengan jalan melakukan modifikasi, inovasi, atau bahkan imitasi kreatif. Terlepas dari itu semua, pelembagaan MBS hampir dipastikan bahwa aplikasi MBS akan mendorong tumbuhnya lembaga pendidikan persekolahan berbasis pada masyarakat (community-based education) ataua manajemen pendidikan berbasis masyarakat (MPBM), khususnya di bidang pendanaan, fungsi kontrol, dan pengguna lulusan. Pembentukan Dewan Pendidikan di tingkat kabupaten/kota dan Komite Sekolah di tingkat persekolahan merupakan salah satu bentuk bahwa pendidikan berbasis masyarakat menjadi isu sentral kita. Di dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propernas) 2000-2004 disebutkan bahwa salah satu program pembinaan pendidikan dasar dan menengah adalah mewujudkan manajemen pendidikan yang berbasis seakolah/masyarakat (school/community-based education) dengan memperkenalkan Dewan Pendidikan (dalam UU ini disebut Dewan Sekolah) di tingkat kabupaten/kota serta pemberdayaan atau pembentukan Komite Sekolah di tingkat sekolah. Penggunaan MBS secara ekonomi mendorong masyarakat, khususnya orang tua siswa, untuk menjadi salah satu fondasi utama secara finansial bagi operasi sekolah, mengingat pendidikan persekolahan itu tidak gratis (education is not free). Pemikiran ini tidak mereduksi peran pemerintah yang dari tahaun ke tahun diharapkan dapat mengalokasikan anggaran untuk pendidikan pada kadar yang makin meningkat. Secara akademik, masyarakat akan melakukan fungsi kontrol sekaligus pengguna lulusan. Di sini akuntabilitas sekolah akan teruji. Juga secara proses, berhak mengkritisi kinerja sekolah agar lembaga milik publik ini tidak keluar dari tugas pokok dan fungsi utamanya. Dengan MBS adalah keharusan bagi masyarakat untuk menjadi fondasi sekaligus tiang penyangga utama pendidikan persekolahan yang berada pada radius tertentu tempaat masyarakat itu bermukim. Serta MBS merupakan salah satu bentuk reformasi manajemen pendidikan (reformation in education management) di tanah air. Lebih lanjut Levacic (1995) dalam Bafadal (2003:91) proses menajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah (MPMPBS) meliputi:
a. Penetapan dan atau telaah tujuan sekolah;
b. Review keberhasilan pelaksanaan rencana tahunan sekolah sebelumnya;
c. Pengembangan prioritas kerja dan jadwal waktu pelaksanaan;
d. Justifikasi program prioritas dalam kesesuaiannya dengan konteks sekolah;
e. Perbaikan rencana dengan melengkapi berbagai aspek perencanaan;
f. Implikasi sumber daya dalam pelaksanaan program prioritas dan;
g. Pelaporan hasil.
Keberhasilan penerapan manajemen pendidikan berbasis sekolah sangat ditentukan political will pemerintah dan kepemimpinan di persekolahan. Ironisnya selama ini, political will tersebut tidak utuh sebagai pendukung utama, demikian juga kepemimpinan di persekolahan yang cenderung memakai pendekatan birokratis hirarkis dan bukannya demokratis. Walaupun political will adakalanya terlihat tidak begitu utuh dalam menerapkan prinsip-prinsip manajemen pendidikan berbasis sekolah, seharusya diimbangi dengan format kepemimpinan kepala sekolah yang handal dalam memimpin persekolahan. Menurut Nurkolis (2003:141) kepemimpinan adalah isu kunci dalam MBS, bahkan dalam beberapa terminology Site-Based Leadership digunakan sebagai pengganti Site-Based Management. Dalam implementasi MBS maka diperlukan perspektif dalam keterampilan kepemimpinan baik pada tingkat pemerintahan maupun tingkat sekolah. Berbagai fenomena yang terlihat dalam penerapan prinsip-prinsip manajemen pendidikan berbasis sekolah, menunjukkan bahwa masih diperlukan kemauan yang kuat dari pihak pemerintah dan lingkungan sekolah dalam melakukan perubahan sistem penyelenggaraan manajemen persekolahan. Tidak mungkin melakukan perubahan secara utuh dan komprehensif, jika semua pihak yang terlibat tidak menunjukkan kemauan yang kuat untuk melakukan perubahan itu. Oleh karenanya, pengenalan secara mendalam dan mendasar tujuan penerapan manajemen pendidikan berbasis sekolah merupakan sebuah keharusan oleh siapa saja yang bertanggung jawab dan merasa berkepentingan terhadap pertumbuhan dan perkembangan persekolahan. Dengan MBS unsur pokok sekolah (constituent) memegang kontrol yang lebih besar pada setiap kejadian di sekolah. Unsur pokok sekolah inilah yang kemudian menjadi lembaga nonstruktural yang disebut dewan sekolah yang anggotanya terdiri dari guru, kepala sekolah, administrator, orang tua, anggota masyarakat, dan murid (Nurkolis, 2003:42). Perluasan keikutsertaan masyarakat dalam sistem manajemen persekolahan merupakan upaya untuk meningkatkan efektivitas pencapaian tujuan pendidikan. Sekolah dalam hal ini bukan lagi hanya milik sekolah tetapi hakikat sekolah sebagai sub-sistem dalam sistem masyarakat direkonstruksi sehingga fungsi pendidikan dikembalikan secara utuh dalam melestarikan nilai-nilai yang ada di masyarakat.
2. Peran Manajemen Mutu Terpadu
Dr. W. Edward Deming (Arcaro, 2006:8) diakui sebagai “Bapak Mutu’’. Beberapa prinsip pokok yang dapat diterapkan dalam bidang pendidikan antara lain:
a. Anggota dewan sekolah dan administrator harus menerapkan tujuan mutu pendidikan yang akan dicapai.
b. Menekankan pada upaya pencegahan kegagalan pada siswa, bukannya mendeteksi kegagalan setelah peristiwanya terjadi.
c. Asal diterapkan secara ketat, penggunaan metode kontrol statistik dapat membantu memperbaiki autcomes siswa dan administratif.
Dr. Joseph M . Juran (Arcaro, 2006:8) diakui sebagai salah seorang “Bapak Mutu” . Dr. Juran berlatar pendidikan teknik dan hukum. Seperti halnya Deming, Juran adalah ahli statistik terpandang. Juran menyebut mutu sebagai ‘’tepat untuk pakai’’ dan menegaskan bahwa dasar misi mutu sebuah sekolah adalah ‘’mengembangkan program dan layanan yang memenuhi kebutuhan pengguna seperti siswa dan masyarakat. Lebih lanjut Juran mengatakan bahwa ‘’tepat untuk dipakai’’ lebih tepat ditentukan oleh pemakai bukan oleh pemberi. Pandangan Juran tentang mutu merefleksikan pendekatan rasional yang berdasarkan fakta terhadap organisasi bisnis dan amat menekankan pentingnya proses perencanaan dan kontrol mutu. Titik fokus filosofi manajemen mutunya adalah keyakinan organisasi terhadap produktivitas individual. Mutu dapat dijamin dengan cara memastikan bahwa setiap individu memiliki bidang yang diperlukannya untuk menjalankan pekerjaan dengan tepat. Dengan perangkat yang tepat, para pekerja akan membuat produk dan jasa yang secara konsisten sesuai dengan harapan kostumer. Seperti halnya Deming, Juran pun memainkan peran penting dalam membangun kembali Jepang setelah perang Dunia II. Dia diakui jasanya oleh bangsa Jepang dan memfasilitasi persahabatan Amerika Serikat dan Jepang. Upaya Juran menemukan prinsip-prinsip dasar proses manajemen membawanya untuk memfokuskan diri pada mutu sebagai tujuan utama. Beberapa pandangan Juran (Arcaro, 2006:9) tentang mutu sebagai berikut:
a. Meraih mutu merupakan proses yang tidak mengenal akhir;
b. Perbaikan mutu merupakan proses berkesinambungan, bukan program sekali jalan.
c. Mutu memerlukan kepemimpinan dari anggota dewan sekolah dan administrator.
d. Pelatihan, misal merupakan prasyarat mutu.
e. Setiap orang di sekolah mesti mendapatkan pelatihan.

Juran sudah memperkirakan keberhasilan bangsa Jepang dalam sebuah pidatonya untuk Organisasi Kontrol Mutu Eropa pada tahun 1966. dia mengatakan bahwa: Bangsa Jepang menonjol di dunia dalam kepemimpinan mutu dan akan menjadi pemimpin dunia dalam dua dekade mendatang karena tak ada pihak lain yang bergerak ke arah mutu dengan kecepatan yang sama dengan Bangsa Jepang.
Bila diterapkan secara tepat, Manajemen Mutu Terpadu merupakan metodologi yang dapat membantu para profesional pendidikan menjawab tantangan lingkungan masa kini. Manajemen Mutu Terpadu dapat dipergunakan untuk mengurangi rasa takut dan meningkatkan kepercayaan di lingkungan sekolah. Manajemen Mutu Terpadu dapat digunakan sebagai perangkat untuk membangun aliansi antara pendidikan, bisnis dan pemerintahan. Aliansi pendidikan memastikan bahwa para profesional sekolah atau wilayah memberikan sumber daya yang dibutuhkan untuk mengembangkan program-program pendidikan. Manajemen Mutu Terpadu dapat memberikan fokus pada pendidikan dan masyarakat. Manajemen Mutu Terpadu membentuk infrastruktur yang fleksibel yang dapat memberikan respons yang cepat terhadap perubahan tuntutan masyarakat. Manajemen Mutu Terpadu dapat membantu pendidikan menyesuaikan diri dengan keterbatasan dana dan waktu. Manajemen Mutu Terpadu memudahkan sekolah mengelola perubahan. Transformasi menuju sekolah bermutu terpadu diawali dengan mengadopsi dedikasi bersama terhadap mutu oleh dewan sekolah, administrator, staf, siswa, guru dan komunitas. Prosesnya diawali dengan mengembangkan visi dan misi mutu untuk wilayah dan setiap sekolah serta departemen dalam wilayah tersebut. Visi mutu difokuskan pada pemenuhan kebutuhan kostumer, mendorong keterlibatan total komunitas dalam program, mengembangkan sistem pengukuran nilai tambah pendidikan, menunjang sistem yang diperlukan staf dan siswa untuk mengelola perubahan, serta perbaikan berkelanjutan dengan selalu berupaya keras membuat produk pendidikan menjadi lebih baik. Agar sekolah mengembangkan fokus mutu, setiap orang dalam sistem sekolah mesti mengakui bahwa setiap output lembaga pendidikan adalah kostumer. Dalam survai terakhir atas 150 pengawas sekolah untuk mengukur pemahaman mereka atas mutu, rupanya 35% responden yang disurvai menunjukkan, mereka tak yakin bila sekolah itu memiliki kostumer. Memang masih lebih banyak pihak dalam komunitas pendidikan yang mengakui adanya kostumer untuk tiap keluaran pendidikan, tapi mutu pendidikan tak kunjung diperbaiki. Transformasi mutu diawali dengan mengadopsi paradigma baru pendidikan. Cara pikir dan cara kerja lama harus disingkirkan. Dalam bidang pendidikan, memang sungguh sulit bagi orang-orangnya untuk mengembangkan paradigma baru pendidikan. Ada dua keyakinan pokok yang menghalangi tiap upaya penciptaan mutu dalam sistem pendidikan seperti dijelaskan oleh Jerome S. Ascaro (2006:12), yakni: (1) banyak profesional pendidikan yakin bahwa mutu pendidikan bergantung pada besarnya dana yang dialokasikan untuk pendidikan. Lebih banyak uang yang diinvestasikan dalam pendidikan maka lebih tinggi juga mutu pendidikan dan; (2) banyak profesional pendidikan yang tetap memandang pendidikan sebagai sebuah ‘’jaringan anak manis’’. Mereka bersikukuh untuk bertahan dari tarikan profesional nonpendidikan yang mempengaruhi perubahan sistem. Banyak profesional pendidikan secara terbuka menyatakan bahwa mereka memiliki komitmen terhadap transformasi mutu. Pendidikan mesti dipandang sebagai sebuah sistem. Ini merupakan konsep yang amat sulit dipahami para profesional pendidikan. Umumnya orang bekerja dalam bidang pendidikan memulai perbaikan sistem tanpa mengembangkan pemahaman yang penuh atas cara sistem tersebut bekerja. Dalam sebuah analisa rinci atas perguruan tinggi di Inggris belum lama ini, ternyata cukup mengejutkan. Perguruan tinggi itu tak punya catatan tertulis mengenai proses atau prosedur kerja. Fungsi-fungsi bisa berjalan lantaran memang selalu dijalankan. Hanya dengan memandang pendidikan sebagai sebuah sistem maka para profesional pendidikan dapat mengeliminasi pemborosan dari pendidikan dan dapat memperbaiki mutu setiap proses pendidikan. Konsep dasarnya, mutu adalah segala sesuatu yang dapat diperbaiki. Menurut filosofi manajemen lama, ‘’kalau belum rusak, janganlah diperbaiki’’. Mutu didasarkan pada konsep bahwa setiap proses dapat diperbaiki dan tidak ada proses yang sempurna. Menurut filosofi manajemen yang baru, ‘’bila tidak rusak, perbaikilah, karena bila Anda tidak melakukannya orang lain pasti melakukannya’’. Inilah konsep perbaikan berkelanjutan. Karakteristik Sekolah Bermutu Terpadu menurut Arcaro (2006:38-39) antara lain: Fokus pada kostumer, keterlibatan total, pengukuran, komitmen dan perbaikan berkelanjutan. Sekolah memiliki kostumer internal dan eksternal. Kostumer internal adalah orang tua, siswa, guru, administrator, staf dan dewan sekolah yang berada di dalam sistem pendidikan. Sedangkan kostumer eksternal adalah masyarakat, perusahaan, keluarga, militer dan perguruan tinggi yang berada di luar organisasi, namun memanfaatkan output proses pendidikan. Keterlibatan total, setiap orang harus berpartisipasi dalam transformasi mutu. Mutu bukan hanya tanggung jawab dewan sekolah atau pengawas. Mutu menuntut setiap orang memberi kontribusi bagi upaya mutu. Pengukuran. Ini merupakan bidang yang seringkali gagal di banyak sekolah. Banyak hal yang baik terjadi dalam pendidikan sekarang ini, namun para professional pendidikan yang terlibat dalam prosesnya menjadi begitu terfokus pada pemecahan masalah yang tidak bisa mereka ukur efektivitas upaya yang dilakukannya. Dengan kata lain, anda tidak dapat memperbaiki apa yang tidak dapat anda ukur. Sekolah tidak dapat memenuhi standar mutu yang ditetapkan masyarakat, sekalipun ada sarana untuk mengukur kemajuan berdasarkan pencapaian standar tersebut. Para siswa menggunakan nilai ujian untuk mengukur kemajuan di kelas. Komunitas menggunakan anggaran sekolah untuk mengukur efisiensi proses sekolah. Komitmen pengawas sekolah dan dewan sekolah harus memiliki komitmen pada mutu. Bila mereka tidak memiliki komitmen, proses transformasi mutu tidak akan dapat dimulai karena kalaupun dijalankan pasti gagal. Setiap orang perlu mendukung upaya mutu. Mutu merupakan perubahan budaya yang menyebabkan organisasi mengubah cara kerjanya. Orang biasanya tidak mau berubah, tapi manajemen harus mendukung proses perubahan dengan memberi pendidikan, perangkat, sistem dan proses untuk meningkatkan mutu. Perbaikan berkelanjutan secara konstan mencari cara untuk memperbaiki setiap proses pendidikan, misalnya mengisi kegiatan dengan hal-hal sebagaimana adanya dan sekalipun ada masalah tidak menganggapnya sebagai masalah.
D. Penutup

Berdasarkan beberapa penjelasan di atas maka dapat disimpulkan ke dalam beberapa hal sebagai berikut:
1. Manajemen pendidikan berbasis sekolah, menuntut adanya sekolah yang otonom dan kepala sekolah yang memiliki otonomi, khususnya otonomi kepemimpinan atas sekolah yang dipimpinnya. Oleh karena itu, perlu langkah-langkah yang bersifat implementatif dan aplikatif untuk merealisir manajemen pendidikan berbasis sekolah di lembaga pendidikan persekolahan.
2. Keberhasilan penerapan manajemen pendidikan berbasis sekolah sangat ditentukan oleh political will pemerintah dan kepemimpinan di persekolahan.
3. Proses manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah meliputi kegiatan: (1) penetapan dan telaah tujuan sekolah, (2) review keberhasilan pelaksanaan rencana tahunan sekolah, (3) pengembangan prioritas kerja dan jdwal waktu pelaksanaan, (4) justifikasi program prioritas dalam kesesuaiannya dengan konteks sekolah, (5) perbaikan rencana dengan melengkapi berbagai aspek perencanaan, (6) implikasi sumber daya dalam pelaksanaan program prioritas dan, (7) pelaporan hasil.

Senin, 11 Juli 2011

jurnal pendidikan kinerja sekolah

HUBUNGAN GAYA KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH DAN SUASANA KERJA DENGAN KINERJA GURU SMP NEGERI SATU ATAP KERUGMUNGGANG KECAMATAN BOROBUDUR KABUPATEN MAGELANG
Oleh :
Haryono
Abstrak Tujuan Penelitian: (1) Untuk mengetahui apakah ada hubungan gaya kepemimpinan kepala sekolah terhadap kinerja guru SMP Negeri Satu Atap Kerugmunggang Kecamatan Borobudur Kabupaten Magelang; (2) Untuk mengetahui apakah ada hubungan suasana kerja terhadap kinerja guru SMP Negeri Satu Atap Kerugmunggang Kecamatan Borobudur Kabupaten Magelang; (3) Untuk mengetahui apakah ada hubungan gaya kepemimpinan kepala sekolah dan suasana kerja terhadap kinerja guru SMP Negeri Satu Atap Kerugmunggang Kecamatan Borobudur Kabupaten Magelang. Penelitian dilakukan di SMP Negeri Satu Atap Kerugmunggang Kecamatan Borobudur Kabupaten Magelang. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh guru di SMP Negeri Satu Atap Kerugmunggang Kecamatan Borobudur Kabupaten Magelang sebanyak 54 guru. Dari populasi tersebut keseluruhannya dijadikan sampel dalam penelitian.Teknik analisis data menggunakan regresi linear berganda, dengan uji prasyarat yang digunakan adalah uji normalitas, uji linearitas, dan uji independensi. Hasil Penelitian: (1) terdapat hubungan positif variabel gaya kepemimpinan kepala sekolah dengan variabel kinerja guru yang ditunjukkan dengan besarnya nilai t sebesar 6,253 > 1,676 (t hitung > t tabel) dengan nilai signifikan sebesar 0,000 (<0,005). Sumbangan efektif variabel gaya kepemimpinan kepala sekolah sebesar 25,76% dapat diinterpretasikan bahwa 25,76% variasi yang ada pada variabel kinerja guru dapat diprediksikan oleh variabel gaya kepemimpinan kepala sekolah; (2) terdapat hubungan positif variabel suasana kerja dengan kinerja guru yang dibuktikan dengan besarnya nilai t sebesar 6,615 > 1,676 (t hitung > t tabel) dengan nilai signifikan sebesar 0,000 (<0,005). Sumbangan efektif variabel suasana kerja sebesar 31,11% dapat diinterpretasikan bahwa 31,11% variasi yang ada pada variabel kinerja guru dapat diprediksikan oleh variabel suasana kerja; dan (3) terdapat hubungan positif gaya kepemimpinan kepala sekolah dan suasana kerja secara bersama dengan kinerja guru, yang dibuktikan dengan besarnya nilai F sebesar 33,690 dengan nilai sig sebesar 0,000 (<0,005). ABSTRACT The aims of this research are to find out: (1) whether there is an correlation between the leadership style of the school principal on the performance of the teachers of State Junior Secondary School of One Roof System, Kerugmunggang, Borobudur sub-district, Magelang regency; (2) whether there is an correlation between the working atmosphere on the performance of the teachers of State Junior Secondary School of One Roof System, Kerugmunggang, Borobudur sub-district, Magelang regency; (3) whether there is an correlation between the leadership style of the school principal and the working atmosphere on the performance of the teachers of State Junior Secondary School of One Roof System, Kerugmunggang, Borobudur sub-district, Magelang regency. This research was conducted at State Junior Secondary School of One Roof System, Kerungmunggang, Borobudur sub-district, Magelang regency. Its population was all of the 54 teachers of State Junior Secondary School of One Roof System, Kerugmunggang, Borobudur sub-district, Magelang regency. All of the population was taken as the samples of the research. The data of the research were analyzed by using a multiple linear regression analysis. The pre-requisite test of the research used the normality test, the linearity test, and the independention test. The results of the analysis are as follows: (1) there is a positive effect of the leadership style of the school principal on the performance of the teachers of State Junior Secondary School of One Roof System, Kerugmunggang, Borobudur sub-district, Magelang regency as indicated by the value of tcount = 6,253 > t table = 1,676 at the significance level of 0,000 (<0,005). The effective contribution of the variable of the leadership style of the school principal amounting to 25,76% can be interpreted that 25,76% of the variations in the variable of the performance of the teachers can be predicted by the variable of the leadership style of the school principal. (2) there is a positive effect of the variable of the working atmosphere on the performance of the teachers of State Junior Secondary School of One Roof System, Kerugmunggang, Borobudur sub-district, Magelang regency as shown by the value of tcount = 6,615 > t table = 1,676 at the significance level of 0,000 (<0,005). The effective contribution of the variable of the working atmosphere amounting to 31,11% can be intepreted that 31,11% of the variations of the variable of the performance of the teachers can be predicted by the variable working atmosphere. (3) there is a simultaneous positive effect of the leadership style of the school principal and the working atmosphere on the performance of the teachers of State Junior Secondary School of One Roof System, Kerugmunggang, Borobudur sub-district, Magelang regency as proven by the value of F =33,690 at the significance level of 0,000 (<0,005). http://digilib.uns.ac.id/pengguna.php?mn=detail&d_id=12286 7: HUBUNGAN ANTARA DISIPLIN KERJA, MOTIVASI KERJA, DAN PERSEPSI GURU TENTANG GAYA KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH DENGAN KINERJA GURU SLB DI KABUPATEN DAN KOTA MADIUN Oleh : Siti Zuraidha N. CH. ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menemukan: (1) hubungan yang signifikan antara disiplin kerja dengan kinerja guru; (2) hubungan yang signifikan antara motivasi kerja dengan kinerja guru; (3) hubungan yang signifikan antara persepsi guru tentang gaya kepemimpinan kepala sekolah dengan kinerja guru; dan 4) hubungan yang signifikan antara disiplin kerja, motivasi kerja dan persepsi guru tentang gaya kepemimpinan kepala sekolah dengan kinerja guru SLB secara bersama-sama di Kabupaten dan Kota Madiun tahun 2008/2009. Jenis penelitian ini adalah adalah deskriptif korelasional, yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk memastikan seberapa besar variasi-variasi yang disebabkan oleh satu variabel, berhubungan dengan variasi yang disebabkan oleh variabel yang lain. Penelitian dilakukan pada SLB di Kabupaten dan Kota Madiun pada tahun pelajaran 2008/2009. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh guru pada 14 SLB di Kabupaten dan Kota Madiun yang berjumlah 161 orang. Sampel dalam penelitian adalah sebanyak 114 orang yang dipilih dengan teknik proporsional random sampling. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan teknik kuesioner. Teknik analisis data dilakukan dengan menggunakan analisis regresi linier berganda dengan tiga prediktor. Berdasarkan hasil analisis, maka penelitian ini menyimpulkan bahwa: (1) Ada hubungan positif yang signifikan antara disiplin kerja dengan kinerja guru. Hal ini ditunjukkan dengan besarnya koefisien korelasi sebesar 0,450 dan hasil uji signifikansi korelasi di mana diperoleh = 5%; (2) Ada hubungannilai uji t sebesar 5,31 yang signifikan pada positif yang signifikan antara motivasi kerja dengan kinerja guru. Hal ini ditunjukkan dengan besarnya koefisien korelasi sebesar 0,533 dan hasil uji signifikansi korelasi di mana diperoleh nilai uji t sebesar = 5%; (3) Ada hubungan positif yang6,64 yang signifikan pada signifikan antara persepsi guru tentang gaya kepemimpinan kepala sekolah dengan kinerja guru. Hal ini ditunjukkan dengan besarnya koefisien korelasi sebesar 0,562 dan hasil uji signifikansi korelasi di mana = 5%; dan (4)diperoleh nilai uji t sebesar 7,16 yang signifikan pada Ada hubungan yang signifikan antara disiplin kerja, motivasi kerja dan persepsi guru tentang gaya kepemimpinan kepala sekolah secara bersama-sama dengan kinerja guru SLB di Kabupaten dan Kota Madiun. Hal ini ditunjukkan dengan pengujian menghasilkan nilai koefisien korelasi ganda sebesar 0,527. Hasil uji signifikansi korelasi ganda diperoleh = 5%.nilai F sebesar 40,77 yang signifikan pada Kata Kunci : Kinerja guru, disiplin kerja, motivasi kerja, dan persepsi guru tentang gaya kepemimpinan kepala sekolah. 7:03 http://digilib.uns.ac.id/pengguna.php?mn=detail&d_id=9027 HUBUNGAN PERSEPSI SISWA TENTANG KINERJA GURU, LINGKUNGAN FISIK KELAS DAN SIKAP KEMANDIRIAN SISWA DENGAN PRESTASI BELAJAR AKUNTANSI SISWA KELAS XI IPS SMA NEGERI 2 WONOGIRI TAHUN AJARAN 2005/2006 Oleh : Dian Maharani Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan yang positif dan signifikan antara : (1) Persepsi siswa tentang kinerja guru dengan prestasi belajar akuntansi siswa kelas XI IPS SMA Negeri 2 Wonogiri (2) Lingkungan fisik kelas dengan prestasi belajar akuntansi siswa kelas XI IPS SMA Negeri 2 Wonogiri (3) Sikap kemandirian siswa dengan prestasi belajar akuntansi siswa kelas XI IPS SMA Negeri 2 Wonogiri (4) Persepsi siswa tentang kinerja guru, lingkungan fisik kelas dan sikap kemandirian siswa dengan prestasi belajar akuntansi siswa kelas XI IPS SMA Negeri 2 Wonogiri. Penelitian ini menggunakan metode ex post facto dengan pendekatan korelasional. Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa kelas XI IPS Sekolah Menengah Atas Negeri 2 Wonogiri Tahun Pelajaran 2005/2006 sejumlah 127 siswa dan sampel penelitian diambil sejumlah 64 siswa dengan cara proportional random sampling. Teknik pengumpulan data menggunakan metode angket untuk variabel bebas, dan metode dokumentasi untuk variabel terikat. Teknik analisis statistik menggunakan teknik analisis korelasi dan regresi ganda dengan uji persyaratan analisis, uji normalistas, uji linearitas, dan uji independensi. Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan dapat disimpulkan: (1) Ada hubungan yang signifikan persepsi siswa tentang kinerja guru dengan prestasi belajar akuntansi siswa kelas XI IPS SMA Negeri 2 Wonogiri. Hal ini ditunjukkan dari hasil perhitungan diperoleh rhit > rtab (0,403 > 0,244) pada taraf signifikansi 5% (2) Ada hubungan yang signifikan lingkungan fisik kelas dengan prestasi belajar akuntansi siswa kelas XI IPS SMA Negeri 2 Wonogiri. Hal ini ditunjukkan dari hasil perhitungan diperoleh rhit > rtab (0,392 > 0,244) pada taraf signifikansi 5% (3) Ada hubungan yang signifikan sikap kemandirian siswa dengan prestasi belajar akuntansi siswa kelas XI IPS SMA Negeri 2 Wonogiri. Hal ini ditunjukkan dari hasil perhitungan diperoleh rhit > rtab (0,499 > 0,244) pada taraf signifikansi 5% (4) Ada hubungan yang signifikan persepsi siswa tentang kinerja guru, lingkungan fisik kelas dan sikap kemandirian siswa secara bersama-sama dengan prestasi belajar akuntasi siswa Kelas II SMA Negeri 2 Wonogiri. Hal ini ditunjukkan dari hasil perhitungan diperoleh Fhit > Ftab (12,379 > 2,76) pada taraf signifikansi 5% dengan db pembilang = 3, db penyebut = 60, dan model persamaan garis regresi : = 45,923 + 0,061 X1 + 0,070 X2 + 0,071 X3.
7:05
http://digilib.uns.ac.id/pengguna.php?mn=detail&d_id=3977
OPTIMALISASI KINERJA GURU DALAM PELAKSANAAN KURIKULUM TINGKAT SATUAN PENDIDIKAN (KTSP) PADA MATA PELAJARAN MATEMATIKA DI SMP NEGERI 1 GONDANGREJO
Oleh :
Rika Puji Astuti
ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah (1) Untuk mengetahui sikap dan komitmen guru terhadap pelaksanaan KTSP pada mata pelajaran matematika di SMP Negeri 1 Gondangrejo. (2) Untuk mengetahui upaya guru mengoptimalkan kinerjanya dalam pelaksanaan KTSP pada mata pelajaran matematika di SMP Negeri 1 Gondangrejo. (3) Untuk mengetahui pemahaman guru terhadap isi KTSP serta tanggapan guru terhadap keputusan tentang pemberlakuan KTSP. (4) Untuk mengetahui kendala-kendala yang dihadapi oleh guru dalam pelaksanaan KTSP pada mata pelajaran matematika di SMP Negeri 1 Gondangrejo. (5) Untuk mengetahui cara mengatasi kendala-kendala yang dihadapi guru dalam pelaksanaan KTSP pada mata pelajaran matematika di SMP Negeri 1 Gondangrejo. Penelitian ini dapat digolongkan ke dalam penelitian kualitatif, sedangkan metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian deskriptif kualitatif. Subyek pada penelitian ini adalah semua guru mata pelajaran matematika yang mengampu kelas KTSP dan siswa di SMP Negeri 1 Gondangrejo. Data hasil penelitian ini yaitu data hasil dokumentasi, observasi, wawancara dengan guru mata pelajaran matematika yang mengampu kelas KTSP, dan angket yang diisi oleh siswa kelas VIII B dan kelas VIII F. Pada penelitian ini, teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling dan sampling aksidental. Purposive sampling digunakan pada pengambilan 2 guru mata pelajaran matematika yang mengampu kelas VIII di SMP Negeri 1 Gondangrejo. Sampling aksidental digunakan untuk mengambil 2 kelas di SMP Negeri 1 Gondangrejo yang di ampu oleh guru subyek penelitian yaitu kelas VIII B dan kelas VIII F. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa (1) Sikap dan komitmen guru terhadap pelaksanaan KTSP pada mata pelajaran matematika di SMP Negeri 1 Gondangrejo adalah mengetahui dan memahami sebatas pada pengertiannya saja, sehingga mereka harus lebih banyak membaca dan mengikuti kajian-kajian mengenai KTSP agar lebih jelas dan memahami. Mereka juga menyetujui atas pemberlakuan KTSP, karena mereka percaya bahwa dengan pemberlakuan kurikulum yang baru dapat memperbaiki dan mengembangkan mutu pendidikan. (2) Upaya guru mengoptimalkan kinerjanya dalam pelaksanaan KTSP di SMP Negeri 1 Gondangrejo dilakukan dengan enam indikator yaitu perencanaan dan persiapan mengajar, penguasaan dan pemahaman materi, penguasaan metode dan strategi mengajar, pemberian tugas-tugas kepada siswa, pengelolaan kelas, penilaian dan evaluasi. (3) Pemahaman guru terhadap isi KTSP terhadap keputusan tentang pemberlakuan KTSP bahwa mereka memahami tentang KTSP sebatas pada pengertiannya saja. Sedangkan tanggapan atas pemberlakuan KTSP, guru yang bersangkutan setuju/ikut saja dan menjalankan sesuai pemahaman yang diperolehnya melalui kajian-kajian dan lain sebagainya. (4) Kendala-kendala yang dihadapi oleh guru dan cara mengatasinya dalam pelaksanaan KTSP di SMP Negeri 1 Gondangrejo adalah dari sekolah mengenai sarana dan prasarana, yaitu buku pegangan siswa terbatas yakni 1 buku untuk 2 orang siswa, peralatan dan penyediaan buku paket matematika di sekolah masih minim. Cara mengatasinya masih belum bisa dipecahkan, hanya saja akan berusaha melengkapi kekurangan-kekurangannya yang masih ada dalam sekolah. Dari siswa, siswa tidak bisa konsentrasi dalam KBM, bagaimana siswa bisa menyerap materi terutama bagaimana dia dapat mengikuti pelajaran, bagaimana siswa mencatat materi pelajaran, dan bagaimana siswa dapat mengerjakan soal yang diberikan oleh guru. Cara mengatasinya dengan memotivasi/mendorong siswa agar sadar dan mau diajak melengkapi kekurangan-kekurangannya yang masih ada. Sedangkan untuk masalah siswa lemah dalam perhitungan, diatasi dengan menggunakan cara memperbanyak latihan yaitu guru membuat penyelesaian apa yang telah diselesaikan oleh guru di dalam kelas itu diulangi lagi hingga siswa bisa mengerti dan memahami. ABSTRACT The purposes of this research are (1) To know the attitude and the commitment of teacher in the application of KTSP on the mathematics at SMP Negeri 1 Gondangrejo. (2) To know the efforts of teacher in his working optimalization in the application of KTSP on the mathematics at SMP Negeri 1 Gondangrejo. (3) To know the understanding of teacher on the content of KTSP and his idea on the decision of KTSP application. (4) To know the problems that faced by teacher in the application of KTSP on the mathematics at SMP Negeri 1 Gondangrejo. (5) To know the solution of the problems that faced by teacher in the application of KTSP on the mathematics at SMP Negeri 1 Gondangrejo. The research is belong to the qualitative research, while the method is descriptive qualitative. The subjects of this study are the teacher of mathematics in the KTSP classes and the students of SMP Negeri 1 Gondangrejo. The data are documentation, observasion, interview with the teachers of mathematics in the KTSP classes, and questionnaire that filled by the students of VIII B and VIII F. The sampling technique are purposive sampling and accidental sampling. Purposive sampling is used on the usage of 2 mathematics teachers in the KTSP classes at SMP Negeri 1 Gondangrejo. Accidental sampling is used on the usage of 2 classes at SMP Negeri 1 Gondangrejo that teached by the subject of teachers in this study, namely class VIII B and VIII F. Based on the result of this research, it can be concluded that (1) The attitude and the commitment of teachers in the application of KTSP on the mathematics at SMP Negeri 1 Gondangrejo is understanding, until they must read more and follow the literature of KTSP in order to be more understand. They agree on the application of KTSP because they believe that this curriculum can improve the quality of education. (2) The efforts of teachers in the working optimalization in the application of KTSP at SMP Negeri 1 Gondangrejo are carried out by six indicators. They are planning and preparation of teaching, understanding of material, mastering the method and the strategy of teaching, giving assignment to the students, management of class, appraisal and evaluation. (3) The understanding of teachers on the content of KTSP in the decision of KTSP application regard that they have bit understanding of KTSP, only on the meaning of KTSP. While their idea on the KTSP application, they just follow and carry out the curriculum suitable with the obtained understanding through the literatures and the others. (4) The problems in the application of KTSP at SMP Negeri 1 Gondangrejo are the structure and infrastructure, that is the limitation of guidance book of maths is 1 book for 2 students, the instruments and the supply of book that are still minimum. The best solution has not founded yet, but the school management tries to complete them step by step. The problem of students is they can not concentrate in the learning process. They have not understand the materials yet, even they don’t know how to note the material and to do the exercises. The used solution is giving the motivation to the students in order to be realize the importance of this subject of lesson and inviting them to complete the lack of learning structure and infrastructure. For the students who have the weakness of calculation, it can be handled by giving the practices more, that is the teachers make the solution of practices, then it can be learned by the students until they understand them.
7:07
http://digilib.uns.ac.id/pengguna.php?mn=detail&d_id=13606


jurnal pendidikan

www.digilib.uns.ac.id
www.digilib.unnes.ac.id